Agenda rangkaian Kampanye Jelang Dua Dekade Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang di inisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Perkumpulan Jalastoria Indonesia (JalaStoria) kembali diselenggarakan melalui Dialog Lembaga Penyedia Layanan: Membangun Peningkatan Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kantor Kemen PPPA pada Selasa (12/09/2023).
Dalam dialog tersebut, sejumlah perwakilan dari Lembaga Penyedia Layanan seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Forum Pengada Layanan (FPL), dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) berbagi pengalaman dan praktik baik yang telah dilakukan dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT).
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga Rentan, Eni Widiyanti mengemukakan, dialog dengan Lembaga Penyedia Layanan ini merupakan wadah strategis untuk saling berbagi pengalaman, menambah informasi, dan menampung aspirasi, serta bentuk dari komitmen nyata stakeholder terkait dalam upaya PKDRT.
“Dialog kali ini lebih berfokuskan pada pengalaman Lembaga Penyedia Layanan yang telah mengimplementasikan upaya pencegahan dan penanganan KDRT. Komitmen dan peran Lembaga Penyedia Layanan dalam upaya PKDRT menjadi salah satu pilar penting untuk memutus mata rantai lingkaran KDRT juga turut mengedukasi masyarakat untuk berani melaporkan kasus KDRT yang dilihat, diketahui, maupun dialami,” ujar Eni dalam sambutannya.
Melansir data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sepanjang 2022, Eni menjelaskan, kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) berdasarkan tempat kejadian paling banyak terjadi di rumah tangga/KDRT sebanyak 73,1 persen atau 8.432 kasus terlaporkan dengan pelakunya sebagian besar atau 56,3 persen adalah suami. Adapun faktor pemicu yang paling banyak menyebabkan terjadinya KtP adalah faktor ekonomi sebesar 30,7 persen.
“KDRT seringkali terjadi tidak hanya dikarenakan faktor ekonomi semata. Faktor sosial, budaya, agama, politik, dan sebagainya pun kerap menjadi pemicu KDRT dan berbagai jenis KtP lainnya yang berdampak secara signifikan terhadap kondisi kesehatan baik fisik dan psikis, serta kesejahteraan korban. KDRT pun tidak hanya berdampak terhadap istri semata, tetapi juga pada anak. Banyak anak-anak yang menjadi saksi mata kasus KDRT di dalam rumahnya sendiri memiliki kecenderungan tumbuh dengan kesulitan belajar dan keterampilan sosial yang terbatas. Hal tersebut menggambarkan bahwa dampak dari KDRT begitu kompleks dan berjangka panjang,” jelas Eni.
Hadir Mewakili Forum Pengada Layanan (FPL), Koordinator Nasional FPL, Siti Mazumah mengakui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) masih menghadapi berbagai tantangan dan kendala pada proses implementasi di lapangan yang menjadi hambatan.
“Tantangan terbesar implementasi UU PKDRT adalah penafsiran isi dari UU PKDRT tersebut seperti relasi suami istri, perkawinan tidak tercatat dalam lingkup KDRT, penerapan pasal KDRT untuk pekerja rumah tangga (PRT) yang tidak menetap/tidak tinggal, adanya upaya saling lapor antara suami dan istri, penelantaran rumah tangga, hingga penerapan pasal-pasal UU PKDRT, khususnya pada Pasal 55 yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya,” ungkap Siti.
Siti menambahkan, UU PKDRT mengatur dan mencakup banyak lingkup dari pidana, hak-hak korban, kewajiban pemerintah, kewajiban masyarakat, peran Kepolisian, peran tenaga Kesehatan, peran pekerja sosial, peran relawan pendamping, peran pembimbing rohani, hingga peran advokasi. Penanganan kasus KDRT pun harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan berbagai stakeholder terkait. FPL sebagai jaringan lembaga layanan yang aktif menangani perempuan korban kekerasan berbasis gender telah melakukan upaya pencegahan KDRT diantaranya (1) pemberdayaan/penguatan terhadap individu, keluarga, dan komunitas; (2) membangun relasi dan kemitraan yang setara; (3) melakukan edukasi bahwa KDRT sebagai ‘siklus’ dan ‘domestik’; (4) membuat posko pengaduan berbasis komunitas; dan (5) memperkuat rohani/spiritualitas untuk ketahanan pribadi dan keluarga.
Senada dengan Siti, mewakili Unit Pelaksana Teknis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPPA) DKI Jakarta, Tri Palupi Diah Handayati menyampaikan bahwa kendala yang dihadapi dalam implementasi PKDRT terdapat pada kompleksitas kasus KDRT tersebut. Dengan kompleksitas kasus KDRT yang dianggap sebagai urusan pribadi seringkali menyebabkan korban enggan untuk melapor dan merasa bahwa tindak kekerasan yang dialaminya merupakan suatu aib yang tidak perlu diketahui orang lain, sehingga membuat korban dan keluarga sulit untuk mengambil keputusan yang justru berakhir membahayakan korban.
“Kendala lainnya ada pada perbedaan perspektif stakeholder dalam penanganan korban KDRT, perspektif masyarakat, stakeholder dan mitra pembantu yang belum sepenuhnya paham mengenai batasan dan proses layanan, skema perlindungan khusus untuk korban KDRT yang belum dimaksimalkan, serta aspek pemberdayaan yang belum sepenuhnya tereksplorasi,” kata Palupi.
Lebih lanjut, Palupi menuturkan, dalam penegakan UU PKDRT yang lebih maksimal, diperlukan berbagai upaya progresif seperti (1) penguatan perspektif sumber daya manusia (SDM) dalam penanganan korban KDRT; (2) penyediaan sarana prasarana yang mendukung pemenuhan korban KDRT; (3) penetapan korban mendapatkan perlindungan sementara; (4) adanya koordinasi yang kuat dalam proses penegakan hukum dan pemberian perlindungan dari lintas sektor untuk korban KDRT; (5) perlu adanya bantuan layanan kuasa hukum perceraian bagi korban KDRT yang mengalami kekerasan dan memilih perceraian sebagai pilihan penyelesaian kasus; (6) penyediaan tempat transisi sementara bagi korban KDRT yang tidak mempunyai tempat sementara namun masih perlu menjalankan kegiatan sehari-hari; dan (6) perlu adanya penguatan pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan korban seperti tempat tinggal transisi, kegiatan vokasional, dan pelatihan.
Sementara itu, mewakili Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Iskandar menyampaikan, LPSK memberikan perlindungan kepada 6.415 Terlindung dimana diantaranya terdapat 30 Terlindung KDRT sepanjang 2022. Dalam 30 Terlindung KDRT tersebut, terdapat sejumlah korban kekerasan yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
“LPSK telah menangani beberapa kasus PRT korban KDRT yang tergolong sadis dan merendahkan martabat kemanusiaan. Dalam penanganannya, LPSK membantu memfasilitasi proses hukum dari tahap penyidikan hingga persidangan, memberikan bantuan medis, melakukan penghitungan restitusi, serta reintegrasi sosial dan pemulihan psikis korban yang dilakukan dengan bantuan kerjasama antara LBH Apik dan Rumah Perlindungan dan Trauma Centre (RPTC) Kementerian Sosial,” jelas Livia.
Rangkaian Kampanye Jelang Dua Dekade UU PKDRT merupakan langkah kolaboratif yang strategis antara Kemen PPPA dan JalaStoria dalam menyosialisasikan dan membangun literasi masyarakat Indonesia terkait pencegahan dan penanganan KDRT melalui UU PKDRT. Sebelumnya kegiatan Kick Off Kampanye Jelang Dua Dekade UU PKDRT telah dilakukan pada 4 September 2023 dan Dialog dengan Tokoh Agama telah dilakukan pada 8 September 2023. Rangkaian kampanye tersebut akan terus diselenggarakan selama bulan September melalui Dialog dengan Aparatur Penegak Hukum (APH) dan puncak acara kampanye yang akan dilakukan pada bulan Oktober.(*)
Sumber : Biro Hukum Dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak